Setelah perpisahannya di Cafe Wijaya dengan Rama, Nayra kebingungan, cemas dan gelisah. “Kira-kira Rama sudah baca bukunya belum ya?”, “Apa dia sudah di rumah?”, “Apa dia masih di luar bertemu dengan seseorang yang dia bilang itu?”. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul di kepala Nayra, karena hingga jam 10 malam belum juga ada kabar dari Rama.
“Tuing…” bunyi handphone Nayra berdering. Ternyata pesan dari Rama. Membaca nama pengirimnya saja Nayra sudah gelisah. Kira-kira apa yang Rama bilang setelah membaca catatan yang dia buat khusus itu. Dengan hati-hati Nayra membuka pesan tersebut dan membacanya pelan-pelan.
“Nay, bukunya bagus. Lebih tepatnya, tulisannya bagus. Gue suka, ternyata lo puitis banget ya orangnya.”
Nayra tersenyum dan membaca kalimat selanjutnya…
“Dan Nay, gue sangat menghargai perasaan lo. Gue berterima kasih banget karena lo berani jujur ke gue.”
“Tapi…” Melihat kata tapi di kalimat selanjutnya membuat jantung Nayra berdegup kencang.
“Tapi maaf Nay, gue gak bisa menerima perasaan lo. Gue udah terlalu nyaman menjadi temen lo dan gue rasa perasaan itu gak bisa berubah.”
Aliran darah Nayra semakin kencang dan otaknya tidak bisa bekerja dengan baik. Nayra mematung, waktunya berhenti, dunianya runtuh.
***